Dua Ibu : Hanya untuk yang pernah dilahirkan oleh seorang Ibu
Dua
Ibu : Hanya untuk yang pernah dilahirkan oleh seorang Ibu
Resensi
Judul
Buku : Dua Ibu
Pengarang : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan+hal : Cetakan ketiga, Juni 2014 + 304 halaman.
“Dalam dunia kehidupan ada dua macam ibu.
Pertama, ialah sebutan untuk perempuan yang melahirkan anaknya. Kedua, ialah
sebutan untuk perempuan yang merelakan kebahagiaanya sendiri buat anak orang
lain. Yang paling istimewa jika dua macam sifat itu bergabung menjadi satu.”
Buku ini mengisahkan tentang kasih
sayang ibu dan anak-anaknya, tidak peduli anak kandung atau bukan. Begitulah
pengakuan Mamid sebagai orang pertama dalam cerita ini yang memiliki dua ibu.
Demikian juga pengakuan delapan anak lainnya (dengan satu anak kandung) yang
dikeluargakan oleh Ibu dan Ayah. Walaupun dengan keterbatasan ekonomi Ibu
mengasuh mereka tanpa kenal lelah dan keluh. Tokoh Ibu dalam cerita ini begitu
kuat, penuh kesabaran layaknya perempuan Solo dan rela berkorban demi
kebahagiaan anak-anaknya. Terlihat pada saat Solemah, anak sulung Ibu yang
hendak menikah dengan seorang Prajurit Angkatan Laut dan kini tinggal di
Surabaya. Ibu rela menjual barang berharga demi membiayai pernikahan Solemah.
Begitu pula dengan pernikahan Mujanah dan khitanan Mamid.
Satu per satu anak Ibu pergi mencari
kebahagiaan masing-masing. Seperti Solemah yang kini tinggal di Surabaya
bersama suaminya, Ratih dan Herit juga menyusul tinggal di Surabaya karena
suami Ratsih seorang Angkatan laut. Pun Mamid yang tidak rela meninggalkan Ibu
di Solo, kini tinggal di Jakarta bersama orang tua kandungnya, Tante Mirah dan
Om Bong. Anak kandung Ibu, Jamil juga meninggalkan Ibu untuk menjadi seorang
petinju. Bahkan si kembar Priyadi dan Prihatin sempat diambil oleh ayah
kandungnya, namun kini tinggal bersama Adam. Tersisa Ibu, Mujanah dan suaminya
yang tinggal di Solo. Hingga akhirnya mereka kembali pulang dan berkumpul di
Solo saat Ibu meninggal untuk melihat yang terakhir kalinya dan mengurus
pemakamam Ibu. Dan setiap tahun di tanggal dan bulan kematian Ibu, anak-anak
Ibu berkumpul di Solo untuk selamatan dan membersihkan makam.
Walaupun mereka berasal dari keluarga
yang berbeda-beda, mereka tetap mempunyai darah yang sama. Darah seorang Ibu
yang rela berkorban demi kebahagiaan anak orang lain. Ibu yang dengan penuh
kesabaran mendidik anak orang lain menjadi anak yang santun. Ibu yang kuat dan
tak pernah berkeluh demi mengasuh anak orang lain. Ibu yang menyimpan pait
getirnya kehidupan sendiri. Ibu yang selalu dikenang di lubuk hati yang paling
dalam, yang namanya selalu dibisikkan ketika marabahaya datang, yang selalu
dirindukan saat jauh dari rumah.
Cerita ini begitu sederhana namun juga
begitu hidup. Dengan gaya bahasa yang khas, Arswendo Atmowiloto membuat pembaca
menyelami nilai-nilai kehidupan yang disajikan. Adegan dan percakapan yang begitu
sehari-hari mampu membuat pembaca merasa haru dan lucu. Walaupun demikian, di
beberapa bagian terdapat adegan yang agaknya berbau porno. Sehingga buku ini
lebih cocok dikonsumsi oleh remaja tujuh belas tahun ke atas. Konfllik dalam
cerita pun tidak terlalu pelik dan rumit, sehingga pembaca masih mudah mencerna
inti cerita. Walaupun alur yang digunakan maju namun tidak selalu berurutan.
Cerita ini juga memakai sudut pandang orang pertama serba tahu. Terlihat saat
tokoh ‘aku’ (Mamid) menceritakan secara rinci perjuangan Jamil di tanah
rantauan. Pengarang membuat cerita Dua Ibu berlatar pada situasi di kota Solo,
Surabaya, Malang, Jakarta, dan Singapura pada sekitar awal tahun 60-an. Arswendo juga
memberikan banyak pesan moral melalui cerita Dua Ibu. Buku ini merupakan
cetakan ketiga dan terdapat pembaharuan pada cover buku. Selain itu, Dua Ibu
juga berhasil meraih Karya Fiksi terbaik pada tahun 1981 oleh Yayasan buku
Utama. Terakhir Arswendo berpesan kepada para calon pembaca, “Mereka yang
merasa tidak pernah dilahirkan seorang ibu, dilarang keras membaca buku ini.”
0 comments: