Jurnalisme Tidak Memihak Tidak Mencela

7:47 AM rezkyka 0 Comments

Jurnalisme adalah sebuah wadah ideal bagi manusia. Manusia ideal adalah jurnalisme. Ia tidak berpihak selain pada kepentingan publik. Ia tidak mencela tapi hanya memaparkan apa yang ada. Ia tidak pernah punya rasa benci apalagi menyebar kebencian. Ia memberikan solusi bagaimana seharusnya dan mengkoreksi dengan kata solusi. Meski ia tidak pernah bicara, ia selalu memberi penjelasan tentang maasalah. Ia tak pernah berbohong karena ia tidak pernah bicara. Ia hanya otak yang punya nilai juang. Ia hanya konsep yang mengarahkan.



Tulisan ini ditulis tangan di sebuah kertas bekas oleh entah siapa. Saya menemukan ini di sekret korankampus, dan hanya ingin mengabadikannya. Untuk siapapun yang menulis ini, saya mohon izin menuliskannya dalam laman pribadi saya. Terima kasih. 

0 comments:

[RESENSI] Fakta Sejarah Pasca G30S/PKI, Pengakuan Algojo 1965

12:34 AM rezkyka 0 Comments

Fakta Sejarah Pasca G30S/PKI


Judul                  : Pengakuan Algojo 1965 (Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965)
Penulis               : Kurniawan et.al
Penerbit              : Tempo Publishing
Jumlah halaman : viii+178 halaman
Tahun Terbit       : September 2013
    
"kalau tidak menumpas lebih dahulu, justru akan ditumpas PKI”

Fakta sejarah mengenai peristiwa berdarah di masa kelam Indonesia 49 tahun yang lalu perlahan terungkap melalui ungkapan cerita para algojo Partai Komunis Indonesia (PKI). Cerita tentang peristiwa sadis yang terlupakan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia melatarbelakangi tim Tempo untuk  mengingatkan kembali Indonesia pada masa kelam tanpa harus menyudutkan para pelaku pembantaian. Melalui ungkapan dan cerita para pelaku pembantaian yang tak merasa bersalah atas perbuatannya, Tempo berhasil mengulik fakta-fakta lain mengenai peristiwa bersejarah ini. Tim Laporan Khusus 1965 Majalah Tempo, Edisi 1-7 Oktober 2012 mendatangi satu persatu narasumber yang pernah terlibat dalam pembantaian anggota PKI, seperti ABRI (TNI-Polri), masyarakat sekitar, tokoh agama dan para pelaku pembantaian itu sendiri, bahkan para pakar sejarah.

Buku setebal 186 halaman ini menceritakan pengakuan para pelaku pembantaian anggota PKI atau sering disebut sebagai algojo. Disebutkan dalam buku ini bahwa pelaku pembantaian selain dari kalangan preman juga berasal dari kalangan tokoh agama. Dalam hal ini Nahdlatul Ulama (NU) juga terlibat dalam pembantaian para anggota PKI tersebut melalui sebuah Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Adanya konflik diantara NU dan PKI sebelum peristiwa G30S/PKI menjadi pemicu terlibatnya NU dalam pembantaian anggota PKI. Pembantaian yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, Jawa khususnya tak pernah lepas dari keterlibatan NU dan pihak militer. Beberapa tokoh dari NU menyebutkan bahwa PKI telah menginjak-injak agama Islam dam hendak menumpas kaum muslim di Indonesia. Sebab itulah mereka membantu pihak militer menumpas PKI hingga akar rumput.

Beberapa dari algojo juga menyebutkan, mereka bersedia melakukan tugas ini karena sebuah keyakinan dan merupakan tugas negara. Bahkan ada yang mengungkapkan “Dan kalau tidak menumpas lebih dahulu, justru akan ditumpas PKI”. Mereka membantai siapapun yang tertuduh menjadi anggota maupun simpatisan dari partai yang berlambang palu arit itu. Tak peduli dari kalangan sanak saudara atau tetangga dekat. Mereka mendapatkan daftar nama tersebut dari pihak militer. Mereka tak tahu menahu darimana pihak militer tersebut mendapatkan daftar nama para anggota PKI. Tugas mereka hanyalah membantai para anggota PKI sesuai dengan daftar. Puluhan hingga ratusan jiwa melayang ditangan para algojo dan mereka sama sekali tak merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. Mereka menganggap hal yang telah mereka lakukan adalah sebuah kebenaran dan tugas negara dan para korban pun hanya pasrah. Namun tak jarang pula mereka mengalami kesulitan dalam penumpasan dikarenakan anggota PKI tersebut memakai ilmu kebal. Cerita tentang penggunaan ilmu kebal yang biasa berada dalam film atau mitos belaka memang benar adanya. Hal ini terungkap dari mulut para algojo sendiri yang menceritakan pengalamannya menumpas para korban. Leher yang tak bisa ditebas, bahkan ada pula ketika kepala korban yang sudah ditebas hingga putus kemudian dapat hidup kembali diceritakan oleh para algojo tersebut dengan jelasnya.
 
Operasi penumpasan ini biasanya dilakukan di malam hari, sehingga tak ada warga yang berani keluar ketika malam menjelang. Mereka takut disangka sebagai anggota PKI.  Sumur-sumur neraka dengan berbagai ukuran yang dibuat oleh para algojo biasa menjadi tempat pembuangan sekitar 15-20 mayat. Jurang hingga sungai pun tak lepas menjadi tempat pembuangan mayat. Bengawan Solo menjadi salah satu tempat terkenal di masanya sebagai tempat pembuangan mayat. Karenanya dalam beberapa minggu sungai tersebut berubah warna menjadi merah. Tempat-tempat tersebut hingga sekarang masih sering dikunjungi oleh warga atau keluarga yang berziarah dan mendoakan para korban.
    
Tim Tempo berhasil menyusun buku ini layaknya sebuah novel yang menarik untuk dibaca. Penuturan kisah tiap algojo di berbagai daerah ditulis layaknya sebuah cerpen di tiap babnya. Cerita yang mengalir dengan tata bahasa yang mudah dimengerti membuat pembaca seolah berada dalam peristiwa tersebut. Pembaca diajak menyelami kehidupan para algojo di masa lalu, bagaimana algojo tersebut menumpas dan mengeksekusi para korban dijelaskan secara gamblang hingga timbul rasa kengerian saat membaca. Pengakuan yang paling menarik dan menggetarkan berasal dari seorang mantan algojo bernama Anwar Congo. Anwar merupakan aktor utama dalam film dokumenter karya Joshua Oppenheimer yang berjudul “The Act of Killing” atau Jagal yang juga menceritakan tentang pengeksekusian anggota dan simpatisan PKI di Sumatera. Dalam film yang juga diceritakan dalam buku ini Anwar memperagakan bagaimana cara Anwar membunuh. Anwar memperagakan seorang kawannya didekatkan ke tiang lalu seutas kawat Anwar lilitkan di leher dan kemudian kawat tersebut ditariknya. “Ini supaya tak ada darah yang mengalir,” ungkapnya.
 
Hal menarik lainnya, selain berupa ungkapan pengakuan dari para algojo, buku ini dilengkapi beberapa dokumentasi foto para korban yang pernah di penjara, para algojo maupun lokasi-lokasi yang dijadikan sebagai tempat pembuangan mayat. Di akhir buku juga dilampirkan beberapa tanggapan dari pembaca baik yang menentang, mendukung atau mempertanyakan keaslian dari kisah ini. Selain itu, dilampirkan pula beberapa pendapat dari para ahli dan tokoh mengenai tragedi pasca G30S/PKI. Dari cerita yang disusun oleh Tim Tempo seorang tokoh menanggapi bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa genosida dan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Sejumlah sumber menyebutkan korban dari pembantaian massal tersebut mencapai 1 hingga 3 juta jiwa. Seorang ahli mengatakan bahwa angka tersebut masih belum dapat dipastikan. Mengingat adanya berbagai kepentingan dari golongan-golongan tertentu.

Sebagai sebuah buku berlatarbelakang sejarah, Pengakuan Algojo 1965 ini bagus untuk menambah wawasan tentang sejarah bangsa Indonesia yang dulu cenderung menutupi fakta. Berkat buku ini pula wawasan tentang sejarah khususnya pada jaman 1965-1966 tercerahkan. Melalui buku ini pembaca disadarkan bahwa paham komunis dilarang keras di Indonesia. Namun, bukan berarti pembantaian massal serta ijin dari sesepuh masyarakat atau tokoh agama membenarkan peristiwa ini. Bukan berarti pula diskriminasi dari keluarga yang dicap sebagai anggota atau simpatisan PKI diperbolehkan. Buku ini menyadarkan pihak-pihak akademisi atau sekolah untuk meluruskan ajaran sejarah yang sarat akan propaganda dan rezim Orde Baru.

0 comments:

Being A "Jurnalis Kampus"

6:32 PM rezkyka 0 Comments

Konferensi Pers dengan Prabowo Subianto di ruang sidang gedung rektorat
Kunjungan Prabowo ke IPB jumat (28/2) lalu memberikan sebuah pengalaman baru lagi buat gue. Profesi gue sebagai seorang reporter di kampus atau istilah sangarnya wartawan kampus memberikan kesempatan dan peluang yang cukup bagus bertemu dengan orang-orang penting (dengan mudahnya). Jarang-jarang kan mahasiswa (biasa) bisa bertemu dengan orang penting dengan mudahnya. Kalo bukan dari kalangan eksekutif, aktivis, atau kalangan orang-orang yang memang kerjaannya bertemu orang penting, kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang penting, petinggi kampus bahkan negeri hanya sedikit.

Prabowo sesaat sebelum meninggalkan IPB di lapangan sepakbola gymnasium
Profesi gue sebagai seorang reporter ini memberikan kesempatan yang sama tingginya dengan seorang eksekutif (presma) atau aktivis kampus. Mungkin bahkan bisa lebih tinggi. Bisa bertemu, wawancara, memotret dari jarak yang cukup dekat, atau mungkin bahkan berkenalan dengan para petinggi tersebut itu sesuatu hal yang menurut gue (sebagai mahasiswa) itu "WAAAH" banget. Dengan kata lain gue beruntung jadi seorang reporter. Yaa, contohnya aja waktu kunjungan Prabowo ke IPB. Gue bisa melihat beliau dengan jarak hanya beberapa meter, berada dalam satu ruangan bersama beliau dengan beberapa media nasional lainnya. Ini kedua/ketiga kalinya gue bekerja berdampingan dengan media nasional. Kali pertama itu saat gue meliput aksi di gedung KPK. Jujur, ini suatu kebanggaan tersendiri buat gue. Gue mencoba buat nggak naif yaa .. Nggak cuma itu, di kunjungan Prabowo kemarin gue juga sempat bersalaman dengan beliau. Walaupun gue seorang reporter, di sisi lain gue juga seorang mahasiswa (biasa), yang seneng bisa bertemu dengan 'orang penting'. Yang jelas saat gue jadi seorang reporter yaa gue harus profesional. 

Sebelumnya gue juga pernah bertemu dengan Julian Aldrin Pasha, seorang Jubir Presiden, saat Presiden SBY berkunjung ke IPB. Gue bertugas untuk meliput beliau, sedangkan beberapa kru lain meliput orasi ilmiah SBY di GWW dan meliput kedatangan beberapa menteri di Gedung Rektorat. Lagi-lagi kesempatan emas buat bertemu dengan 'orang penting'. Walaupun saat bertemu beliau gue nggak sempet wawancara, karena beliau juga terburu-buru. Yaa ... kapan lagi coba bisa bertemu dengan 'orang penting'. Well, keinginan gue jadi reporter yaa nggak lepas dari yang gue ceritain ini, selain ketemu dengan 'orang penting' (dengan mudah tapi kadang juga susah), bisa jalan-jalan (gratis). Untuk saat ini buat liputan jalan-jalan dan gratis itu masih belum kesampaian siih. Tapi buata ukuran mahasiswa, bertemu 'orang penting' itu udah amat sangat cukup banget kok. Kapan lagi lo bisa wawancara/ngobrol sama presma, sama orang-orang di rektorat, sama rektor dan wakil rektor. Selain bisa bertemu dengan mereka tentunya ada info dan ilmu baru yang bisa lo dapetin. Itu alasan kenapa gue memilih jadi seorang reporter di Koran Kampus IPB. Hahahahaha.. 

Oh iya satu lagi, gue wawancara atau bertemu dengan 'orang-orang penting' itu nggak sendirian kok. Selalu ada partner yang setia menemani hahaha. Dia adalah INEM. Entah kebetulan atau apa, tiap kali ada kegiatan meliput mereka gue selalu berdua dengan partner gue itu. Meliput aksi, meliput jubir, meliput Prabowo, selalu meliput bareng ine. Cuma satu yang belum kesampaian niih, sebagai seorang wartawan kampus belum lengkap rasanya kalo belum meliput atau wawancara petinggi di IPB alias Pak Rektor. Istilahnya gue udah ketemu banyak orang luar tapi belum pernah ketemu dengan beliau. Padahal waktu kunjungan Prabowo itu ada beliau, tapi yaudah sekedar lalu aja, belum berbicara secara langsung gitu. Hehehe ... Hmm gapapa pasti ada jalan dan kesempatan untuk wawancara langsung dengan beliau. Another dreams gue niih. Firasat gue siih, nggak lama lagi gue bisa melakukan itu, doakan saja yaa hehehehe...

Yaa itu tadi sedikit pengalaman gue menjadi seorang jurnalis kampus. Thats why I love my job, I love being a journalist, being a reporter, yang membuat gue terkadang bukan menjadi mahasiswa biasa. Tapi juga kadang gue sedikit minder ketika gue belum bisa menerapkan kejurnalisan gue dengan baik dan benar. Thanks buat KORPUS yang membesarkan gue, yang memberi gue banyak pengalaman dan pembelajaran baik dari organisasi itu sendiri atau pengalaman dan pembelajaran sebagai seorang reporter. Terus mencetak orang-orang hebat yaa pusss... :p ;D

0 comments: