[RESENSI] Fakta Sejarah Pasca G30S/PKI, Pengakuan Algojo 1965

12:34 AM rezkyka 0 Comments

Fakta Sejarah Pasca G30S/PKI


Judul                  : Pengakuan Algojo 1965 (Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965)
Penulis               : Kurniawan et.al
Penerbit              : Tempo Publishing
Jumlah halaman : viii+178 halaman
Tahun Terbit       : September 2013
    
"kalau tidak menumpas lebih dahulu, justru akan ditumpas PKI”

Fakta sejarah mengenai peristiwa berdarah di masa kelam Indonesia 49 tahun yang lalu perlahan terungkap melalui ungkapan cerita para algojo Partai Komunis Indonesia (PKI). Cerita tentang peristiwa sadis yang terlupakan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia melatarbelakangi tim Tempo untuk  mengingatkan kembali Indonesia pada masa kelam tanpa harus menyudutkan para pelaku pembantaian. Melalui ungkapan dan cerita para pelaku pembantaian yang tak merasa bersalah atas perbuatannya, Tempo berhasil mengulik fakta-fakta lain mengenai peristiwa bersejarah ini. Tim Laporan Khusus 1965 Majalah Tempo, Edisi 1-7 Oktober 2012 mendatangi satu persatu narasumber yang pernah terlibat dalam pembantaian anggota PKI, seperti ABRI (TNI-Polri), masyarakat sekitar, tokoh agama dan para pelaku pembantaian itu sendiri, bahkan para pakar sejarah.

Buku setebal 186 halaman ini menceritakan pengakuan para pelaku pembantaian anggota PKI atau sering disebut sebagai algojo. Disebutkan dalam buku ini bahwa pelaku pembantaian selain dari kalangan preman juga berasal dari kalangan tokoh agama. Dalam hal ini Nahdlatul Ulama (NU) juga terlibat dalam pembantaian para anggota PKI tersebut melalui sebuah Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Adanya konflik diantara NU dan PKI sebelum peristiwa G30S/PKI menjadi pemicu terlibatnya NU dalam pembantaian anggota PKI. Pembantaian yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, Jawa khususnya tak pernah lepas dari keterlibatan NU dan pihak militer. Beberapa tokoh dari NU menyebutkan bahwa PKI telah menginjak-injak agama Islam dam hendak menumpas kaum muslim di Indonesia. Sebab itulah mereka membantu pihak militer menumpas PKI hingga akar rumput.

Beberapa dari algojo juga menyebutkan, mereka bersedia melakukan tugas ini karena sebuah keyakinan dan merupakan tugas negara. Bahkan ada yang mengungkapkan “Dan kalau tidak menumpas lebih dahulu, justru akan ditumpas PKI”. Mereka membantai siapapun yang tertuduh menjadi anggota maupun simpatisan dari partai yang berlambang palu arit itu. Tak peduli dari kalangan sanak saudara atau tetangga dekat. Mereka mendapatkan daftar nama tersebut dari pihak militer. Mereka tak tahu menahu darimana pihak militer tersebut mendapatkan daftar nama para anggota PKI. Tugas mereka hanyalah membantai para anggota PKI sesuai dengan daftar. Puluhan hingga ratusan jiwa melayang ditangan para algojo dan mereka sama sekali tak merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. Mereka menganggap hal yang telah mereka lakukan adalah sebuah kebenaran dan tugas negara dan para korban pun hanya pasrah. Namun tak jarang pula mereka mengalami kesulitan dalam penumpasan dikarenakan anggota PKI tersebut memakai ilmu kebal. Cerita tentang penggunaan ilmu kebal yang biasa berada dalam film atau mitos belaka memang benar adanya. Hal ini terungkap dari mulut para algojo sendiri yang menceritakan pengalamannya menumpas para korban. Leher yang tak bisa ditebas, bahkan ada pula ketika kepala korban yang sudah ditebas hingga putus kemudian dapat hidup kembali diceritakan oleh para algojo tersebut dengan jelasnya.
 
Operasi penumpasan ini biasanya dilakukan di malam hari, sehingga tak ada warga yang berani keluar ketika malam menjelang. Mereka takut disangka sebagai anggota PKI.  Sumur-sumur neraka dengan berbagai ukuran yang dibuat oleh para algojo biasa menjadi tempat pembuangan sekitar 15-20 mayat. Jurang hingga sungai pun tak lepas menjadi tempat pembuangan mayat. Bengawan Solo menjadi salah satu tempat terkenal di masanya sebagai tempat pembuangan mayat. Karenanya dalam beberapa minggu sungai tersebut berubah warna menjadi merah. Tempat-tempat tersebut hingga sekarang masih sering dikunjungi oleh warga atau keluarga yang berziarah dan mendoakan para korban.
    
Tim Tempo berhasil menyusun buku ini layaknya sebuah novel yang menarik untuk dibaca. Penuturan kisah tiap algojo di berbagai daerah ditulis layaknya sebuah cerpen di tiap babnya. Cerita yang mengalir dengan tata bahasa yang mudah dimengerti membuat pembaca seolah berada dalam peristiwa tersebut. Pembaca diajak menyelami kehidupan para algojo di masa lalu, bagaimana algojo tersebut menumpas dan mengeksekusi para korban dijelaskan secara gamblang hingga timbul rasa kengerian saat membaca. Pengakuan yang paling menarik dan menggetarkan berasal dari seorang mantan algojo bernama Anwar Congo. Anwar merupakan aktor utama dalam film dokumenter karya Joshua Oppenheimer yang berjudul “The Act of Killing” atau Jagal yang juga menceritakan tentang pengeksekusian anggota dan simpatisan PKI di Sumatera. Dalam film yang juga diceritakan dalam buku ini Anwar memperagakan bagaimana cara Anwar membunuh. Anwar memperagakan seorang kawannya didekatkan ke tiang lalu seutas kawat Anwar lilitkan di leher dan kemudian kawat tersebut ditariknya. “Ini supaya tak ada darah yang mengalir,” ungkapnya.
 
Hal menarik lainnya, selain berupa ungkapan pengakuan dari para algojo, buku ini dilengkapi beberapa dokumentasi foto para korban yang pernah di penjara, para algojo maupun lokasi-lokasi yang dijadikan sebagai tempat pembuangan mayat. Di akhir buku juga dilampirkan beberapa tanggapan dari pembaca baik yang menentang, mendukung atau mempertanyakan keaslian dari kisah ini. Selain itu, dilampirkan pula beberapa pendapat dari para ahli dan tokoh mengenai tragedi pasca G30S/PKI. Dari cerita yang disusun oleh Tim Tempo seorang tokoh menanggapi bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa genosida dan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Sejumlah sumber menyebutkan korban dari pembantaian massal tersebut mencapai 1 hingga 3 juta jiwa. Seorang ahli mengatakan bahwa angka tersebut masih belum dapat dipastikan. Mengingat adanya berbagai kepentingan dari golongan-golongan tertentu.

Sebagai sebuah buku berlatarbelakang sejarah, Pengakuan Algojo 1965 ini bagus untuk menambah wawasan tentang sejarah bangsa Indonesia yang dulu cenderung menutupi fakta. Berkat buku ini pula wawasan tentang sejarah khususnya pada jaman 1965-1966 tercerahkan. Melalui buku ini pembaca disadarkan bahwa paham komunis dilarang keras di Indonesia. Namun, bukan berarti pembantaian massal serta ijin dari sesepuh masyarakat atau tokoh agama membenarkan peristiwa ini. Bukan berarti pula diskriminasi dari keluarga yang dicap sebagai anggota atau simpatisan PKI diperbolehkan. Buku ini menyadarkan pihak-pihak akademisi atau sekolah untuk meluruskan ajaran sejarah yang sarat akan propaganda dan rezim Orde Baru.

You Might Also Like

0 comments: